Monday, February 19, 2018

Kampus Jatinangor dan Lahan Bekas Perkebunan Tuan Baud

Pulang dari Jepang, Prof. Dr. Hindersah Wiraatmaja, Rektor Universitas Padjadjaran (1974 – 1982) membawa oleh-oleh . Kunjungannya ke “Kota Akademis Tsukuba “ di Tokyo , Jepang telah menimbulkan inspirasi membangun kota serupa di Bandung. Ia melihat terdapat beberapa  persoalan yang sama dihadapi perguruan tinggi di Negeri Sakura itu dengan perguruan tinggi yang dipimpinnya.
Kampus UNPAD berpusat di Jalan Dipati Ukur 35, Bandung. Namun yang lainnya tersebar di tiga belas lokasi yang jaraknya berjauhan. Luas lahan masing-masing lokasi sempit, sehingga menyulitkan koordinasi dan pengembangan daya tamping, disamping beberapa masalah lainnya. Antara lain produktivitas, mutu lulusan, dan pengembangan prasarana/sarana fisik. Karena itu UNPAD sejak tahun 1977 sudah merintis pengadaan lahan yang memadai. Namun, rencana itu baru tahun 1979 disepakati dengan adanya penunjukan lahan bekas perkebunan di Jatinangor.   
Saat itu Hendersah meletakkan rencananya dalam wadah yang dinamakan “Kota Akademis Manglayang”. Dinamakan demikian karena kawasan itu terletak di kaki Gunung Manglayang. “Kota Akademis Manglayang” merupakan kota yang hanya mempunyai satu fungsi utama. Sebagai kota akademis, dimana berkembang pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang mendukung fungsi utama tersebut.
Namun dengan ditetapkannya fungsi utama tersebut, kegiatan-kegiatan yang sudah ada disana, seperti perdagangan, pertanian, kerajinan, dan sebagainya, tidak akan dihapus. Kegiatan-kegiatan itu bagaimanapun akan tetap diusahakan agar terjadi penyesuaian, bahkan dikembangkan menjadi lebih efektif, efisien, dan serasi dengan fungsi utama sebagai kota akademis.
Filosofi ini didasari karena kota Bandung sudah tidak mungkin lagi menampung pendidikan tinggi. Pada tahun 1980, di Bandung terdapat 16 universitas, institute, dan perguruan tinggi, 25 akademi, 15 lembaga penelitian dengan jumlah mahasiswa sebanyak 60.128 orang. Oleh karena itu, kegiatan beberapa perguruan tinggi di kota itu, secara bertahap harus dipindahkan ke Jatinangor.
“Kota Akademis Manglayang” meliputi sepuluh desa. Dua desa, masing-masing Desa Cileunyi Kulon dan Cileunyi Wetan berada di Kabupaten Bandung. Delapan desa lainnya, Desa Cilayung, Cileles, Hegarmanah, Jatiroke, Cikeruh, Sayang, Cipacing, dan Desa Cibeusi termasuk kabupaten Sumedang. Karena berada di dua kabupaten, maka pengembangan dan penataannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor 593/3590/1987, kawasan itu meliputi luas 3.285,5 hektar, terbagi dalam tujuh wilayah peruntukan. Sekitar 962 hektar diantaranya untuk pengembangan pendidikan tinggi. Masing-masing wilayah pengembangan kampus Unpad 175 hektar (8 persen harus di distribusikan kepada Masyarakat), Universitas Winaya Mukti (Unwim) seluas 51 hektar dan delapan hektar diantaranya untuk hutan percobaan, Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) seluas 28 hektar, dan Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) seluas 280 hektar (dua hektar dibagikan kepada masyarakat dan tiga hektar dikuasai negara).
pendukung lainnya  seluas 140 hektar. Seluas 66 hektar lainnya untuk pengembangan kawasan bumi perkemahan pramuka dan umum. Sisanya 194 hektar diperuntukkan konservasi alam yang membentang dari arah timur laut dan utara sampai ke lereng Gunung Manglayang.
“Kawasan Akademis Manglayang” itu dibangun diatas lahan yang sebelumnya merupakan lahan perkebunan the “Cultuur Ondermemingen van Maatschappij Baud” yang dibuka tahun 1841, dimana W. A. Barron Baud menjadi administraturnya. Ia tergolong sukses. Selain di Jatinangor, ia membuka  tidak kurang dari 14 perkebunan karet dan teh. Antara lain didaerah Bolang (Jasinga),  Buitenzorg  (Bogor), Cikasungka, Ciumbuleuit (Bandung), dan Pamegataqn (Garut). Tanaman the di Jatinangor, belakangan diganti dengan tanaman karet. Sisa-sia tanaman tersebut masih bias dijumpai di Bumi Perkemahan Pramuka Kiarapayung.
Pengamat sejarah perkebunan teh di Jawa Barat,  H. Kuswandhi Md. SH.,  menceritakan, keberhasilan Baron Baud  dalam mengelola perkebunan tersebut. Namun, sukses tidak selalu indentik dengan kebahagian. Bahkan sukses yang telah diraih jutru menimbulkan ketidak harmonisan dalam hubungan dengan saudara-saudaranya. Ia menjadi sangat marah dan gundah karena pertengkaran tersebut menyangkut kekayaannya.
Maka ketika hujan reda dan matahari kembali terang benderang, ia memerintahkan kusir kereta membawanya ke Buitezorg. Bogor sekarang. Disana ia menemui Meertens, seorang pegawai catatan sipil untuk mengadopsi anak perempuan yang dilahirkan dari hubungannya dengan salah seorang wanita pribumi yang disebut “ nyai “ . Anak itu diberi nama “Mimosa”. Nama yang indah itu sebenarnya nama tanaman liar yang tumbuh merambat diatas tanah dan dijadikan pelindung tanaman karet agar tidak ditumbuhi alang-alang.
Mimosa terlupakan karena tinggal bersama ibunya di kampong. Ia sudah menjadi istri kusir delman. Setelah Baron Baud meninggal dan hartanya diutak-atik saudara-saudaranya, nama Mimosa   muncul berkat Meertens. Saat itu, ia sudah menjadi notaris ternama di Batavia. Meertens segeraq menemui Mimosa di kampung dan membujuknya pergi.
Bocah ingusan itu menjerit-jerit ketakutan dan tidak mau berpisah dengan ibunya. Tetapi akhirnya ia menyerah dan bersedia dibawa ke Batavia. Karena ia masih dibawah umur, atas saran Gubernur Jenderal Van der Wijjck, Mimosa berada dibawah perwalian Horra Siccema, bekas Raad van Indie sebagai kuratornya.
Dari anak seorang “nyai “ , Mimosa akhirnya dibawa ke Belanda dan disekolahkan disana. Setelah dewasa, ia menikah dengan Baron von Klizing, seorang pria Denmark yang kemudian memimpin perkebunan Baron Baud. Mimosa meninggal sebelum perang dunia kedua. Namun sebagian sisa kejayaan perkebunannya masih bisa dijumpai di Jatinangor, daerah yang kini dijadikan kawasan perguruan tinggi. Tepat pada jalan masuk yang dulunya merupakan pintu gerbang emplasemen perkebunan, terdapat sebuah menara yang terbuat dari batu bata. Bagian sisinya dihiasi dengan hiasan-hiasan. Salah seorang  penduduk di daerah itu menceritakan, Menara tersebut selain sebagai tanda memasuki emplasemen perkebunan, sekaligus merupakan tempat menyimpan sirene.
Pada waktu tertentu, sirene tersebut dibunyikan untuk memberi tanda pada para pegawai mulai bekerja menorah getah dan kemudian mengambilnya pada siang hari. Menara tersebut dibangun tidak jauh dari emplasemen yang biasa disebut LOJI. Bangunan berbentuk huruf “ L “ yang memiliki 13 kamar itu, sudah tidak ada lagi. Diatasnya sudah berdiri kerangka bangunan baru  yang sudah lama dibiarkan terbengkalai. Bangunan baru tersebut rencananya untuk sport center.
Beberapa puluh meter dari bangunan yang terbengkalai itu, terdapat dua bangunan batu yang menyerupai kubus berukuran 2,5 x 1  meter, dan tinggi 70 sentimeter. Bangunan batu tersebut sebelumnya dilapisi marmer. Karena bentuknya seperti itu, tidak banyak yang tahu, bahwa bangunan tersebut merupakan kuburan. Itulah makam W. A. Baron Baud yang letaknya berdampingan dengan makam anak perempuannya, Mimosa.
Jatinangor pada zaman penjajahan Belanda dilintasi jalur jalan kereta api yang menghubungkan Rancaekek-Tanjungsari. Jalur sepanjang kurang lebih 12 kilometer itu diresmikan tahun 1921. Tetapi, pada zaman pendudukan Jepang, rel kereta api disana dibongkar lalu diangkut dengan mengerahkan tenaga romusha ke Banten. Rel tersebut digunakan untuk membangun jalur jalan kereta api pengangkut batu bara di daerah Bayah, Banten Selatan.  
Selebihnya tidak ada lagi yang tersisa, kecuali jembatan konstruksi batu di daerah Cikuda (saat ini terkenal dengan nama jembatan Cin-cin yanf relnya sudah dipereteli satu persatu yang tertinggal hanya jembatannya saja).  Jembatan itu merupakan tempat paling romantis, apalagi pada malam terang bulan. Tetapi sehari-hari, jembatan itu digunakan untuk mempersingkat perjalanan para mahasiswa Unpad ke tempat pondokannya.
Sebagai “kota Akademis”, Jatinangor kini berkembang menjadi tempat pondokan mahasiswa paling besar di kawasan timur Bandung. Unpad telah memindahkan kegiatannya sejak tahun 1983 dan diikuti oleh perguruan tinggi lainnya, sehingga disana tinggal ribuan mahasiswa. Sebagian lainnya memilih tetap tinggal di Bandung, karena kawasan yang dinamakan “kota akademis” itu tidak didukung oleh fasilitas yang memadai. Walaupun umurnya sudah lebih seperempat abad, kawasan itu masih tetap mengesankan perencanaan yang asal-asalan sehingga Jatinangor tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kawasan yang tidak teratur. Kemacetan tidak bisa dihindarkan. Akibatnya, kawasan yang sejak awal diharapkan bisa menjadi semacam “Kota Akademis Tsukuba” yang terletak di wilayah Bandung Timur itu, pada kenyataannya tidak beda dengan pepatah:  “Jauh panggang dari api “.
Pamornya sebagai kota pendidikan, tetap tidak mampu menandingi Kota Bandung. Apalagi di kota ini tidak ada pembatasan dalam pendirian perguruan tinggi baru. Bagaimanapun, orang akan tetap memilih Kota Bandung sebagai tujuan utama melanjutkan pendidikannya.

sumber: http://lafasahotel.com/2016/02/10/kampus-jatinangor-dan-lahan-bekas-perkebunan-tuan-baud/ (disadur dari buku Jendela Bandung, pengalaman bersama Kompas, Her Suganda Penerbit Buku Kompas Jakarta, Nopember 2007)

No comments:

Post a Comment

Suatu Tempat di Jatinangor