Pulang dari Jepang, Prof. Dr.
Hindersah Wiraatmaja, Rektor Universitas Padjadjaran (1974 – 1982)
membawa oleh-oleh . Kunjungannya ke “Kota Akademis Tsukuba “ di Tokyo ,
Jepang telah menimbulkan inspirasi membangun kota serupa di Bandung. Ia
melihat terdapat beberapa persoalan yang sama dihadapi perguruan tinggi
di Negeri Sakura itu dengan perguruan tinggi yang dipimpinnya.
Kampus UNPAD berpusat di Jalan Dipati
Ukur 35, Bandung. Namun yang lainnya tersebar di tiga belas lokasi yang
jaraknya berjauhan. Luas lahan masing-masing lokasi sempit, sehingga
menyulitkan koordinasi dan pengembangan daya tamping, disamping beberapa
masalah lainnya. Antara lain produktivitas, mutu lulusan, dan
pengembangan prasarana/sarana fisik. Karena itu UNPAD sejak tahun 1977
sudah merintis pengadaan lahan yang memadai. Namun, rencana itu baru
tahun 1979 disepakati dengan adanya penunjukan lahan bekas perkebunan di
Jatinangor.
Saat itu Hendersah meletakkan
rencananya dalam wadah yang dinamakan “Kota Akademis Manglayang”.
Dinamakan demikian karena kawasan itu terletak di kaki Gunung
Manglayang. “Kota Akademis Manglayang” merupakan kota yang hanya
mempunyai satu fungsi utama. Sebagai kota akademis, dimana berkembang
pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang mendukung
fungsi utama tersebut.
Namun dengan ditetapkannya fungsi
utama tersebut, kegiatan-kegiatan yang sudah ada disana, seperti
perdagangan, pertanian, kerajinan, dan sebagainya, tidak akan dihapus.
Kegiatan-kegiatan itu bagaimanapun akan tetap diusahakan agar terjadi
penyesuaian, bahkan dikembangkan menjadi lebih efektif, efisien, dan
serasi dengan fungsi utama sebagai kota akademis.
Filosofi ini didasari karena kota
Bandung sudah tidak mungkin lagi menampung pendidikan tinggi. Pada tahun
1980, di Bandung terdapat 16 universitas, institute, dan perguruan
tinggi, 25 akademi, 15 lembaga penelitian dengan jumlah mahasiswa
sebanyak 60.128 orang. Oleh karena itu, kegiatan beberapa perguruan
tinggi di kota itu, secara bertahap harus dipindahkan ke Jatinangor.
“Kota Akademis Manglayang” meliputi
sepuluh desa. Dua desa, masing-masing Desa Cileunyi Kulon dan Cileunyi
Wetan berada di Kabupaten Bandung. Delapan desa lainnya, Desa Cilayung,
Cileles, Hegarmanah, Jatiroke, Cikeruh, Sayang, Cipacing, dan Desa
Cibeusi termasuk kabupaten Sumedang. Karena berada di dua kabupaten,
maka pengembangan dan penataannya menjadi tanggung jawab Pemerintah
Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Jabar Nomor 593/3590/1987, kawasan itu meliputi luas 3.285,5 hektar,
terbagi dalam tujuh wilayah peruntukan. Sekitar 962 hektar diantaranya
untuk pengembangan pendidikan tinggi. Masing-masing wilayah pengembangan
kampus Unpad 175 hektar (8 persen harus di distribusikan kepada
Masyarakat), Universitas Winaya Mukti (Unwim) seluas 51 hektar dan
delapan hektar diantaranya untuk hutan percobaan, Institut Manajemen
Koperasi Indonesia (Ikopin) seluas 28 hektar, dan Kampus Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) seluas 280 hektar (dua hektar dibagikan
kepada masyarakat dan tiga hektar dikuasai negara).
pendukung lainnya seluas 140 hektar.
Seluas 66 hektar lainnya untuk pengembangan kawasan bumi perkemahan
pramuka dan umum. Sisanya 194 hektar diperuntukkan konservasi alam yang
membentang dari arah timur laut dan utara sampai ke lereng Gunung
Manglayang.
“Kawasan Akademis Manglayang” itu dibangun diatas lahan yang sebelumnya merupakan lahan perkebunan the “Cultuur Ondermemingen van Maatschappij Baud” yang
dibuka tahun 1841, dimana W. A. Barron Baud menjadi administraturnya.
Ia tergolong sukses. Selain di Jatinangor, ia membuka tidak kurang dari
14 perkebunan karet dan teh. Antara lain didaerah Bolang (Jasinga),
Buitenzorg (Bogor), Cikasungka, Ciumbuleuit (Bandung), dan Pamegataqn
(Garut). Tanaman the di Jatinangor, belakangan diganti dengan tanaman
karet. Sisa-sia tanaman tersebut masih bias dijumpai di Bumi Perkemahan
Pramuka Kiarapayung.
Pengamat sejarah perkebunan teh di
Jawa Barat, H. Kuswandhi Md. SH., menceritakan, keberhasilan Baron
Baud dalam mengelola perkebunan tersebut. Namun, sukses tidak selalu
indentik dengan kebahagian. Bahkan sukses yang telah diraih jutru
menimbulkan ketidak harmonisan dalam hubungan dengan saudara-saudaranya.
Ia menjadi sangat marah dan gundah karena pertengkaran tersebut
menyangkut kekayaannya.
Maka ketika hujan reda dan matahari
kembali terang benderang, ia memerintahkan kusir kereta membawanya ke
Buitezorg. Bogor sekarang. Disana ia menemui Meertens, seorang pegawai
catatan sipil untuk mengadopsi anak perempuan yang dilahirkan dari
hubungannya dengan salah seorang wanita pribumi yang disebut “ nyai “ . Anak
itu diberi nama “Mimosa”. Nama yang indah itu sebenarnya nama tanaman
liar yang tumbuh merambat diatas tanah dan dijadikan pelindung tanaman
karet agar tidak ditumbuhi alang-alang.
Mimosa terlupakan karena tinggal
bersama ibunya di kampong. Ia sudah menjadi istri kusir delman. Setelah
Baron Baud meninggal dan hartanya diutak-atik saudara-saudaranya, nama
Mimosa muncul berkat Meertens. Saat itu, ia sudah menjadi notaris
ternama di Batavia. Meertens segeraq menemui Mimosa di kampung dan
membujuknya pergi.
Bocah ingusan itu menjerit-jerit
ketakutan dan tidak mau berpisah dengan ibunya. Tetapi akhirnya ia
menyerah dan bersedia dibawa ke Batavia. Karena ia masih dibawah umur,
atas saran Gubernur Jenderal Van der Wijjck, Mimosa berada dibawah
perwalian Horra Siccema, bekas Raad van Indie sebagai kuratornya.
Dari anak seorang “nyai “ , Mimosa
akhirnya dibawa ke Belanda dan disekolahkan disana. Setelah dewasa, ia
menikah dengan Baron von Klizing, seorang pria Denmark yang kemudian
memimpin perkebunan Baron Baud. Mimosa meninggal sebelum perang dunia
kedua. Namun sebagian sisa kejayaan perkebunannya masih bisa dijumpai di
Jatinangor, daerah yang kini dijadikan kawasan perguruan tinggi. Tepat
pada jalan masuk yang dulunya merupakan pintu gerbang emplasemen
perkebunan, terdapat sebuah menara yang terbuat dari batu bata. Bagian
sisinya dihiasi dengan hiasan-hiasan. Salah seorang penduduk di daerah
itu menceritakan, Menara tersebut selain sebagai tanda memasuki
emplasemen perkebunan, sekaligus merupakan tempat menyimpan sirene.
Pada waktu tertentu, sirene tersebut
dibunyikan untuk memberi tanda pada para pegawai mulai bekerja menorah
getah dan kemudian mengambilnya pada siang hari. Menara tersebut
dibangun tidak jauh dari emplasemen yang biasa disebut LOJI. Bangunan
berbentuk huruf “ L “ yang memiliki 13 kamar itu, sudah tidak ada lagi.
Diatasnya sudah berdiri kerangka bangunan baru yang sudah lama
dibiarkan terbengkalai. Bangunan baru tersebut rencananya untuk sport center.
Beberapa puluh meter dari bangunan
yang terbengkalai itu, terdapat dua bangunan batu yang menyerupai kubus
berukuran 2,5 x 1 meter, dan tinggi 70 sentimeter. Bangunan batu
tersebut sebelumnya dilapisi marmer. Karena bentuknya seperti itu, tidak
banyak yang tahu, bahwa bangunan tersebut merupakan kuburan. Itulah
makam W. A. Baron Baud yang letaknya berdampingan dengan makam anak
perempuannya, Mimosa.
Jatinangor pada zaman penjajahan
Belanda dilintasi jalur jalan kereta api yang menghubungkan
Rancaekek-Tanjungsari. Jalur sepanjang kurang lebih 12 kilometer itu
diresmikan tahun 1921. Tetapi, pada zaman pendudukan Jepang, rel kereta
api disana dibongkar lalu diangkut dengan mengerahkan tenaga romusha ke
Banten. Rel tersebut digunakan untuk membangun jalur jalan kereta api
pengangkut batu bara di daerah Bayah, Banten Selatan.
Selebihnya tidak ada lagi yang
tersisa, kecuali jembatan konstruksi batu di daerah Cikuda (saat ini
terkenal dengan nama jembatan Cin-cin yanf relnya sudah dipereteli satu
persatu yang tertinggal hanya jembatannya saja). Jembatan itu merupakan
tempat paling romantis, apalagi pada malam terang bulan. Tetapi
sehari-hari, jembatan itu digunakan untuk mempersingkat perjalanan para
mahasiswa Unpad ke tempat pondokannya.
Sebagai “kota Akademis”, Jatinangor
kini berkembang menjadi tempat pondokan mahasiswa paling besar di
kawasan timur Bandung. Unpad telah memindahkan kegiatannya sejak tahun
1983 dan diikuti oleh perguruan tinggi lainnya, sehingga disana tinggal
ribuan mahasiswa. Sebagian lainnya memilih tetap tinggal di Bandung,
karena kawasan yang dinamakan “kota akademis” itu tidak didukung oleh
fasilitas yang memadai. Walaupun umurnya sudah lebih seperempat abad,
kawasan itu masih tetap mengesankan perencanaan yang asal-asalan
sehingga Jatinangor tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kawasan yang
tidak teratur. Kemacetan tidak bisa dihindarkan. Akibatnya, kawasan yang
sejak awal diharapkan bisa menjadi semacam “Kota Akademis Tsukuba” yang
terletak di wilayah Bandung Timur itu, pada kenyataannya tidak beda
dengan pepatah: “Jauh panggang dari api “.
Pamornya sebagai kota pendidikan,
tetap tidak mampu menandingi Kota Bandung. Apalagi di kota ini tidak ada
pembatasan dalam pendirian perguruan tinggi baru. Bagaimanapun, orang
akan tetap memilih Kota Bandung sebagai tujuan utama melanjutkan
pendidikannya.
sumber: http://lafasahotel.com/2016/02/10/kampus-jatinangor-dan-lahan-bekas-perkebunan-tuan-baud/ (disadur dari buku Jendela Bandung, pengalaman bersama Kompas, Her Suganda Penerbit Buku Kompas Jakarta, Nopember 2007)
No comments:
Post a Comment